Kekuasaan Utusan Sang Waktu dan Berakhir oleh Sang Waktu

Ketika melangkah ke dalam perjalanan sejarah manusia, tidak ada yang dapat menghindari pandangan yang tak terbantahkan yaitu kekuasaan, yang telah melanda sejak zaman purba, selalu menjadi “utusan sang waktu” yang tak terhindarkan. Dalam dunia penuh pergantian dan evolusi ini, harus menjaga pikiran bahwa kekuasaan adalah sesuatu yang sementara, selalu menggoda dan pada akhirnya akan berakhir oleh sang waktu itu sendiri.
Sejarah selalu dihiasi oleh pemimpin besar yang memegang kendali sejenak, sebelum berpindah tangan dalam alur perubahan sosial yang tak terelakkan. Ini adalah pengingat bahwa kekuasaan adalah sesuatu yang tak abadi, seperti hembusan angin yang tak bisa dipegang dalam waktu yang lama.
Batas waktu selalu menyertai kekuasaan. Entah itu dalam bentuk batasan konstitusional dalam demokrasi, jangka waktu masa jabatan seorang pemimpin, atau perubahan struktural dalam masyarakat, kekuasaan adalah seperti pasir yang berjatuhan melalui jari-jari. Pada akhirnya, kekuasaan tersebut akan terlepas dan diberikan kepada generasi selanjutnya.
Godaan tak terhindarkan yang melekat pada kekuasaan dapat membawa pemegangnya ke dalam perangkap perasaan superioritas. Pemegang kekuasaan mungkin terjebak dalam pandangan bahwa mereka di atas segalanya, menjauh dari kebutuhan dan aspirasi rakyat, bahkan melupakan batas moral yang seharusnya mereka jaga. Kekuasaan yang tak terkontrol, seperti pedang bermata dua, dapat menjadi ancaman serius karena dapat menjatuhkan kekuasaan itu sendiri.
Namun, di tengah gemerlapnya kekuasaan, terdapat alat yang kuat untuk menjaga keseimbangan yaitu adalah sikap rendah hati dan mendengarkan. Ini adalah kesadaran bahwa kekuasaan adalah amanah yang harus dijalani dengan bijak. Sikap rendah hati dan mendengarkan memungkinkan pemegang kekuasaan untuk tetap bersentuhan dengan realitas sosial, memungkinkan bagi pemegang kekuasaan untuk mendengarkan dan memahami kebutuhan rakyat. Dengan rendah hati, pemimpin lebih cenderung bertindak dengan bijaksana dan bertanggung jawab.
Tidak hanya itu, sikap rendah hati dan mendegarkan menggugah kerja sama dan dialog yang lebih baik antara pemegang kekuasaan dan rakyat. Ini membantu menyeimbangkan kekuasaan yang inklusif dan berkelanjutan, di mana suara semua rakyat dihargai.
Sebagai kesimpulan, harus selalu diingat bahwa kekuasaan adalah bagian yang tak terhindarkan dari sejarah perjalanan manusia yang memiliki batas waktu. Sifat menggoda kekuasaan memerlukan kontrol yang kuat, dan sikap rendah hati dan mendengarkan adalah salah satu alat paling efektif dalam menjaga keseimbangan. Kekuasaan adalah amanah, dan hanya dengan kesadaran dan kontrol yang tepat, kita dapat menggunakan kekuasaan dengan bijak demi kesejahteraan rakyat.
RJ13