Guru Besar Universitas Pancasila, Prof. Eddy Pratomo: “Prof. Reda Manthovani adalah Kader yang Tepat bagi Kemajuan Fakultas Hukum Universitas Pancasila”

Jakarta – Guru Besar di bidang Hukum Internasional Universitas Pancasila, Prof. Eddy Pratomo, memberikan pandangannya mengenai polemik gelar guru besar sejumlah pejabat tinggi yang menjadi sorotan publik, termasuk pengukuhan gelar guru besar Prof. Reda Manthovani, yang juga menjabat sebagai Jaksa Agung Muda Intelijen.
Dalam wawancara yang dilakukan setelah seminar internasional di Fakultas Hukum Universitas Pancasila (FHUP), Prof. Eddy Pratomo yang juga menjabat sebagai Dekan FHUP menegaskan bahwa proses pengajuan gelar guru besar di Universitas Pancasila telah mengikuti prosedur yang ketat. Proses ini diawali dengan review dan penilaian oleh para guru besar dan Senat Akademik Fakultas sebelum diajukan ke Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Menurut Prof. Eddy Pratomo, meraih gelar guru besar adalah upaya yang memerlukan waktu bertahun-tahun dan berbagai kendala, termasuk publikasi artikel ilmiah di jurnal internasional. “Proses panjang tersebut sebenarnya sudah dijalani oleh Guru Besar FHUP Prof. Reda Manthovani. Pada tahun 2012, Prof. Reda memimpin penelitian tentang rezim anti pencucian uang yang kemudian dibukukan, diseminarkan, dan dijadikan referensi dalam mata kuliah untuk mahasiswa FHUP,” ujar Prof. Eddy.
Prof. Eddy menambahkan bahwa rekam jejak Prof. Reda Manthovani dalam dunia pendidikan di FHUP dan kebutuhan guru besar untuk memperkuat sumber daya manusia di kampus menjadi dasar pengusulan dan dorongan FHUP untuk menjadikan Prof. Reda sebagai guru besar. “Saat proses review, syarat khusus loncat jabatan fungsional telah terpenuhi. Terdapat 5 jurnal internasional terindeks Scopus yang dipublikasikan sebagai penulis utama, dan 7 jurnal lainnya dengan Prof. Reda sebagai penulis kedua,” imbuhnya.
Prof. Eddy Pratomo juga menegaskan bahwa jurnal ilmiah internasional Scopus yang dibuat oleh Prof. Reda Manthovani tidak ada satupun yang masuk kategori jurnal yang dilarang atau discontinued saat diajukan. “Perubahan status discontinued penerbitan jurnal adalah siklus dalam jurnal penelitian yang sering di luar pengetahuan dosen, sehingga rasanya kurang berimbang jika hal ini dibebankan pada masing-masing dosen,” jelasnya.
Sebagai institusi pendidikan, FHUP sangat memperhatikan perkembangan isu dan akan terus berhati-hati dalam menjaga kualitas para dosen. “Kualitas menjadi pertimbangan utama, maka menurut kami, Prof. Reda Manthovani adalah kader yang tepat bagi kemajuan pendidikan di FHUP. Selain sebagai praktisi di bidang hukum, Prof. Reda juga merupakan alumni FHUP dan telah menyelesaikan pendidikan S2 di Faculte de Droit de l’Universite d’Aix, Marseille III France, serta program doktornya di Universitas Indonesia,” pungkas Prof. Eddy Pratomo.
RJ13 | Foto: Ist.