February 19, 2025

Jaksa Agung Muda Pidana Umum Terapkan Restorative Justice untuk Empat Kasus, Termasuk KDRT di Sanggau

0
86588664-821d-4179-8a9d-ffceac4ae7b0

Jakarta – Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum), Prof. Dr. Asep Nana Mulyana, memimpin ekspose virtual pada Kamis, 28 November 2024, untuk menyetujui empat permohonan penghentian penuntutan berdasarkan mekanisme Restorative Justice. Salah satu kasus yang menarik perhatian adalah perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.

Perkara ini melibatkan Yunus alias Afung, yang didakwa melanggar Pasal 44 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang KDRT. Insiden bermula pada 14 September 2024, saat Yunus pulang ke rumahnya di Kecamatan Balai, Kabupaten Sanggau. Konflik memuncak pada 18 September 2024, ketika Yunus menampar, meninju, dan membanting istrinya, Ira, hingga korban mengalami luka fisik serius. Korban kemudian melapor ke Polsek Batang Tarang, dan Yunus diamankan oleh pihak kepolisian.

Hasil visum yang dilakukan oleh UPT Puskesmas Batang Tarang menunjukkan korban mengalami luka robek di bibir, luka lecet di beberapa bagian tubuh, serta memar akibat kekerasan tumpul. Kasus ini kemudian ditangani oleh Kejaksaan Negeri Sanggau, di mana Kepala Kejaksaan Negeri Sanggau, Dedy Irwan Virantama, bersama timnya, menginisiasi penyelesaian perkara melalui mekanisme restorative justice.

Dalam prosesnya, Yunus mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepada korban. Korban menerima permintaan maaf tersebut dan meminta agar proses hukum dihentikan. “Saya menyesali perbuatan saya dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi,” ujar Yunus saat menyampaikan permintaan maafnya. Korban, Ira, juga menyatakan, “Saya menerima permintaan maaf ini dan berharap keluarga kami bisa pulih dari kejadian ini.”

Permohonan penghentian penuntutan kemudian diajukan ke Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat, Edyward Kaban, yang menyetujui langkah tersebut. JAM-Pidum akhirnya mengesahkan penghentian penuntutan ini dalam ekspose yang digelar di Jakarta. Selain kasus Yunus, tiga perkara lainnya juga diselesaikan melalui mekanisme yang sama, yaitu:

1. Ripki Septiana alias Ule dari Kejaksaan Negeri Kota Sukabumi terkait pencurian.

2. Retendra Johnbetri dari Kejaksaan Negeri Solok terkait penganiayaan.

3. Aulia Adi Putra dari Kejaksaan Negeri Solok terkait penganiayaan berat.

JAM-Pidum menegaskan bahwa keputusan penghentian penuntutan ini didasarkan pada berbagai pertimbangan, seperti adanya proses perdamaian, catatan bahwa tersangka tidak pernah dihukum sebelumnya, dan ancaman pidana yang tidak lebih dari lima tahun. “Restorative justice adalah upaya untuk menciptakan keadilan yang lebih humanis dan relevan dengan kebutuhan masyarakat,” ujar Prof. Dr. Asep Nana Mulyana.

Selain itu, JAM-Pidum mengimbau seluruh Kepala Kejaksaan Negeri untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) sesuai dengan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020. “Langkah ini adalah bentuk nyata dari komitmen Kejaksaan dalam mewujudkan kepastian hukum dan harmoni sosial,” pungkasnya.

RJ13 | Foto: Ist.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *